Bila "kenakalan" telah menjadi fenomena sosial dan kultural di kalangan orang-orang tua (birokrasi, legislasi, yudikasi, parpol, danlaenlaen), atau bila korupsi malah dijadikan simbol dan jaringan heroistik mereka bahkan dijadikan simbol prestise, maka tentulah ada yang salah dalam bangunan kehidupan ini, tentu ada yang rawan dalam kontruksi keluarga, atau ada yg rancu dalam menyikapi tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sebab bila tidak, mengapa suatu perilaku disnormatif atau kontra yuridis (korupsi) pada saat ini seakan-akan dijadikan simbol gaya hidup di kalangan tertentu?
Betapa tidak, saat ini kesuksesan karir seseorang diukur dengan berapa banyak uang dihasilkan dari jabatan yang disandangnya (tidak peduli sumbernya dari mana dan bgmana cara mendapatkannya),
Loyalitas pada negara diplesetkan jadi loyalitas kpda pimpinan, dgn penyerahan diri secara total - tanpa reserve - bahkan cenderung menjilat,, sehingga perintah pimpinan dianggap sbg titah Tuhan, sehingga bila diperintah menggelapkan anggaranpun akan dilaksanakan atas-nama loyalitas,,
Perhatikan lagi apa yang terjadi di masyarakat (awam), masyarakat kita begitu permisif terhadap tindak korupsi, hadiah dan tanda terimakasih jd semacam kepatutan yg harus diberikan oleh bawahan kepada atasan, dari pemenang tender kepada pihak-pihak ttt, masyarakat/kelompok yang mendapatkan bantuan atau program juga yg duitnya recehan pun selalu menyisihkan anggaran untuk itu, bahkan akan merelakan bila dana yg diterimanya "sisa-disunat sekalipun,,,”
Mari lihat pula ke dalam rumah2, keluarga, masih banyak orangtua yg dengan senanghati menyediakan uang puluhan bahkan sampe ratusan juta bagi anaknya yang baru lulus kuliah untuk "membeli pekerjaan" (nyogok, nyuap, pelicin, nitipin, dan entah apa lagi namanya, yg harusnya persaingan di bursa kerja tu mengandalkan kecerdasan, kepintaran & kapasitas sesuai jenis pekerjaan yg ditawarkan, bukan dgn gede-gedean sogokan), kenapa bila kita punya uang seperti itu tidak dijadkan modal agar si anak memiliki jiwa enterpreneurhip?
Demikian parah kondisi persepsi kita tentang korupsi, hal yang salah & hina sekalipun dianggap sebuah kebenaran, bisakah direkonstruksi,,,,???
Sebelum jauh masuk ke dalam jurang frustrasi, mari kita renungkan dan jawab pertanyaan berikut dengan hati nurani :
1. Bila semua bawahan berani mengatakan "TIDAK" kepada pimpinan yang bobrok, yang mengajak atau menyuruh korupsi, yang suka minta "japrem" alias prosentase dari setiap anggaran yang turun,,,, apakah semua bawahannya akan dipecat/ditahan kenaikan pangkat/jabatannya? ataukah proses promosi pangkat-jabatan akan tetap berlangsung dengan memilih bawahan yg tadi mengatakan TIDAK tapi punya prestasi lebih....??
2. Bila semua pemenang tender, masyarakat/kelompok yang mendapatkan bantuan atau program, berani mengatakan "TIDAK" ketika anggaranya disunat/dipotong dan berani TIDAK menjanjikan tandaterimakasih,,,, apakah proyek atau program yg sudah direncanakan tersebut akan dibatalkan?,,,,, atau proyek/program tsb pada akhirnya akan dilaksanakan dengan memilih perusahaan /kelompok /masyarakat yg paling memenuhi syarat....?
3. Bila semua pencari kerja (peminat Pegawai), "TIDAK" menyuap/nyogok dsb,,,, apakah posisi pegawai/jabatan yg kosong tsb akan dibiarkan kosong,,,,? atau pada akhirnya akan diisi oleh orang yang tidak nyuap/nyogok tapi memiliki kelebihan dibanding lainnya setelah dilakukan seleksi yang bersih,,,,?
4. Bila mau jadi Pegawai saja mesti menyediakan uang sebanyak itu, bagaimana nasib anak2 kita yg pandai tapi tidak mampu? pantaskah disisihkan oleh orang yang bodoh tp mampu membayar?
,,,,,,,,
Jawaban berdasarkan nurani tersebut niscaya akan menggiring kita ke arah paradigma baru, dari paradigma "Hidup Di Jaman Edan, Harus Ikut Edan, Bila Tidak - Maka Tidak Akan Kebagian" menjadi paradigm "Hidup Lebih Terhormat Bila Hidup Berjalan Di Atas Prinsip".
Menurut Steven Covey, hidup dengan berfokus pada PRInSIP akan membuat kita menjadi orang yg pro-aktif, bertanggungjawab atas pilihan tindakan kita, dan akan membuat kita menjadi manager bagi diri kita sendiri".
Merekonstruksi paradigma korupsi, bukan persoalan Bisa Atau Tidak-Bisa, tapi Mau Atau Tidak-Mau",,,,,,!
Salam,,,,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar