Sudah 53 tahun masyarakat Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional dengan harapan semua anak Indonesia dapat bersekolah dan menyelesaikan jenjang pendidikannya. Bahkan sejak tahun 2005, di setiap daerah di Indonesia (konon) sudah menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun dan segera bergerak menuju wajib belajar 12 tahun pada tahun 2013.
Namun kenyataannya, masih tercecer potret usang dunia pendidikan bagi kaum papa. Dadan, bocah yang seharusnya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ini, terpaksa menanggalkan mimpinya untuk terus mengenyam pendidikan lantaran tidak ada biaya. Kala itu, ayahnya meninggal, penghasilan ibunya sebagai buruh tani tidak cukup untuk membiayai sekolah sehingga Dadan terpaksa putus sekolah saat masih duduk di bangku kelas enam di SDN Kulur 1 Majalengka.
"Bapak udah nggak ada. Ibu dari dulu juga jadi buruh tani. Jadi buat bantu ibu, aku kerja aja. Duitnya bisa untuk makan bareng-bareng," kata Dadan yang sikapnya malu-malu dan gak pede ini, ketika dijumpai di rumahnya di Desa Kulur Kec./Kab. Majalengka (28 April 2012).
Ya, Dadan kecil harus ikut mencari nafkah agar dapur di rumahnya tetap mengepul. Untuk itu, tiap hari ia berjalan dari rumahnya berkeliling kampung dan desa sebagai pengangkat dagangan barang-barang kelontong yang terbuat dari plastic yang dijual Rp.10.000/3 item.
Biasanya, bocah kecil ini berangkat setiap hari kecuali sakit. Upah yang didapatnya per hari juga tidak menentu yaitu antara Rp 10.000 - Rp 15.000.
"Nggak tentu, kak. Kalau rezekinya banyak, ya banyak. Biasanya hari Sabtu dan Minggu rame yang beli, dapetnya juga lumayan. Kalau pulang nggak bawa sesuatu buat ibu, rasanya nggak enak, kak," ungkap Dadan yang sejak 2010 sudah menjadi pengangkat barang dagangan keliling itu.
Lain lagi cerita, bocah kelas 5 SD yang tidak mau menyebutkan namanya (sebut saja Ujang), yang berasal dari Kampung Cijurey Desa Kulur Majalengka ini, ketika ditanya cita-citanya ia menjawab : “Aku ingin jadi dokter, Om”, tapi ketika ditanya mau melanjutkan kemana bila sudah lulus SD untuk menggapai cita-citanya itu, dia menjawab sambil tertunduk ; “aku mau ngarit (menyabit rumput untuk kambing) bersama bapak”, sungguh tragis dan sangat mengenaskan ketika mendapati kenyataan seorang bocah negeri ini yang tidak membiarkan berlama-lama cita-citanya sendiri menjadi “mimpi masa depan”, karena harus segera dikubur oleh kenyataan yang sudah menanti di hadapannya bila lulus SD nanti, yaitu peternak gurem atau jadi buruh tani.
Namun kendati demikian, si cikal dari 3 bersaudara ini tidak mau bolos sekolah walaupun setiap hari ia harus menempuh jarak 3 KM melewati sebuah bukit dan tegalan untuk mencapai sekolahnya itu, walaupun tahu pada akhirnya nanti ijasahnya tidak akan berguna.
Pendapatan keluarganya hanya cukup untuk sebatas makan dan membayar listrik saja. Untuk mandi, cuci baju dan buang air besar/kecil pun mereka masih numpang ke sumur dan MCK umum yang dibangun oleh sebuah program pemerintah, mengingat warga di areal kampung tersebut rata-rata tidak memiliki sarana air bersih dan MCK.
Tidak hanya itu, rumah tidak layak huni ini pun sudah dalam keadaan yang rusak parah dan butuh perbaikan, namun jangankan untuk biaya perbaikan rumah, untuk biaya keseharian saja pun kadangkala kurang dan harus meminjam dari tetangga atau bahkan rentenir. Dengan kehidupan seperti itu, Ujang pun lebih memilih untuk bersiap-siap membantu orang tuanya daripada meraih mimpinya dengan tetap bersekolah.
Sosok Dadan dan Ujang ini hanya sebagian kecil gambaran anak usia sekolah yang tak bisa menikmati dunia pendidikan dan membutuhkan perhatian besar dari pemerintah, karena entah ada berapa Dadan dan Ujang bertebaran di negeri kita saat ini.
Semestinya Hari Pendidikan Nasional, hari ini, yang jatuh bertepatan dengan hari lahir Ki Hadjar Dewantara tidak hanya sekadar diperingati, tetapi diwujudkan dengan mengembalikan mimpi si papa untuk tetap bersekolah dan merenda mimpi untuk masa depan. Karena yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara kala itu adalah mendirikan perguruan Taman Siswa untuk kaum pribumi jelata, agar bisa mendapat hak pendidikan seperti para bangsawan dan orang-orang Belanda.
Di akhir perjumpaan dengan kedua sosok tangguh yang terpaksa mengubur dalam-dalam cita-citanya itu, dalam pandangan kosong menerawang ke angkasa seakan matanya mengungkapkan harapannya :
"Aku masih ingin sekolah, tapi apa daya….!”
(matakupun berkaca, ingat masa depan anak-anakku,,,,,,).
dari catatan perjalanan outbond-spiritual bersama crew pnpm majalengka, 28 vapril 2012.
Masih ada yang seperti itu? Ya Allah,,,kasihan sekali mereka,,,bagaimana dengan program pemerintah tentang pendidikan dasar bebas biaya? masihkah tidak bisa mereka nikmati pula? Andai saja,,,,,
BalasHapus